Unsur Ekstrinsik Novel "Saman" Karya Ayu Utami



TUGAS
TELAAH PROSA INDONESIA
"NOVEL SAMAN"
KARYA: AYU UTAMI

Hasil gambar untuk UNP

RIMA SELVANI
15017050



SASTRA INDONESIA
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016


Hasil gambar untuk NOVEL SAMAN

1.     Latar belakang kehidupan Pengarang
Justina Ayu Utami atau Ayu Utami lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 21 November 1968.Ia besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor dan Detik pada masa Orde Baru, ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu.Novelna yang pertama, Saman mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberkan warna baru dalam sastra indonesia.
Ayu lahir dalam lingkungan keluarga Katholik Ayahnya bernama Yohanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Berna Deta Suhartina. Dari semasa kecil Ayu tumbuh dengan latar sosial dan agama yang kental. Ia melihat banyak ketidakadilan dan moralitas  yang terjadi di lingkungan sekitarnya.  Keluarganya merupakan keluarga konservatif yang membebaskan anaknya menikah dengan orang yang berbeda agama namun tidak dengan komunis. Ia juga sempat tidak percaya dengan agama pada usia 20-an. Pada saat kuliah ia akhirnya memutuskan untuk menjadi Agnostic ( pandangan mengenai ada atau tidaknya tuhan tidak dapat diketahui ). Namun walaupun begitu, ayu meyakini bahwa agama juga membangun peradaban. Menurutnya Agama dapat mengasihi dan membunuh orang.
 Sebelumnya, hubungan Ayu Utami dengan dunia sastra tidak terlalu erat. Ia mulai menulis sebagai seorang wartawan jurnalistik. Namun karena terjadinya pemberedelan pada tahun 1994, ia mengajukan demo dan akhirnya dipecat. Beberapa temannya bahkan sampai  dipenjara. Hal itu membuka kesadaran Ayu bahwa ia tidak bisa jika hanya menulis sebagai berita, ia harus menulis tulisan yang dapat mencerminkan pikiran dan perasaannya. Maka sastralah yang menjadi jawaban alternatif untuk semua itu. Keseringannya terlibat dengan ketidakadilan, moralitas, Politik dan agama pada puncaknya memantapkan ayu untuk menulis novel. Dengan segala pemikiran dan pengalamannya ia  menulis karya – karya yang tidak lepas dari unsur Seks, agama dan fantasi miliknya. Karena semua itulah terbit Karya pertamanya  “SAMAN” yang membuat namanya dikenal  banyak orang juga sebagai acuan utama dari munculnya era “Sastra Wangi”, genre sastra baru yang muncul pada awal tahun 2000-an. 
2.     Latar Belakang Novel Saman
SAMAN sebuah novel yang bercerita tentang seorang pastor bernama "Saman" yang harus menyaksikan dan merasakan penderitaan penduduk desa yang tertindas oleh negara dengan alasan pembangunan. novel "saman" banyak berceritatentang seksualitas dan tentang kepolosan seorang wanita. Dalam novel ini terdapat 4 tokoh wanita, yaitu:  Shakuntala, Laila, Cok, Yasmin. Mereka adal 4 wanita muda yang berpendidikan dan berkarir. Mereka berempat bersahabat sejak remaja, saling bertukar cerita mengenai pengalaman-pengalaman cinta, keresahan dan pertanyaan-pertanyaan mereka dalam mendefenisikan seksualitas perempuan
Novel "Saman" ini sendiri dibuat Ayu Utami yaitu pada masa Orde Baru, masa dimana waktu itu keadaan Indonesia relatif tidak stabil. Novel ini bertemakan tentang seksual dan cerita orang dewasa, dan tidak patutu di baca oleh anak kecil. Kehidupan Sosial pada masa Orde Baru pun masih sangat tidak stabil, pada zaman Orde Baru ini dilakukan pembangunan besar-besaran mulai dari, pembukaan lahan sawit sebagai sector pertanian, adanya pertambangan minyak bumi sebagai sector pertambangan,bukan hanya dari segi pembangunan, Ayu Utami juga menggambarkan bagaimana nasib rakyat-rakyat kecil yang tertindas akibat pembangunan yang terjadi di daerah mereka. rakyat kecil yang terpaksa harus merelakan lahan karet yang menjadi mata pencahariannya di bakar kemudian di ganti dengan sawit. Tak hanya itu, Ayu Utami dalam Novel "Saman" juga menggabarkan bagaimana kurangnya moral mayarakat pada masa itu, karna pada masa itu banyak sekali remaja-remaja yang melakukan seks bebas tanpa ada pernikahan.
Ayu utami membuat novel ini juga bertujuan untuk menyuarakan pendapatnya tentang derajat lelaki dan perempuan yang sebenarnya sama rata. Saman bagi banyak perempuan perkotaan adalah mantra yang membebaskan mereka dari kutukan "Dharma Wanita". Membawa energi keberanian baru bagi perempuan untuk keluar dari rumah dan merayakan tubuh. Seperti pohon pengetahuan yang membuat Hawa terusir dari surga. Ayu Utami, adalah orang yang menebus dosa itu. Di pundaknya, tertulis daftar “kesalahan”  mengajarkan perempuan bahwa pernikahan bukanlah sebuah kewajiban, bahwa selingkuh tidak selamanya buruk, dan perempuan harus berdaulat atas tubuh mereka sendiri.
“Seks itu pangkal ketidakadilan yang menimpa perempuan,” kata Ayu Utami kepada Deutsche Welle.
“Ada banyak cara membongkar ketidakadilan gender, tapi saya memilih tema seksual, karena itu penting dan tidak banyak orang yang mau menempuhnya."
Deutsche Welle: Kenapa seks?
Ayu Utami: Karena seks itu pangkal ketidakadilan yang menimpa perempuan. Pandangan bahwa perempuan itu makhluk lemah, kurang mampu, emosional, harus dilindungi, sehingga tidak mampu memutuskan sendiri dan karenanya harus dipimpin. Itu semua berawal dari pemahaman yang salah mengenai sekualitas. Semua usaha untuk meringkus perempuan itu berlindung di balik alasan untuk melindungi atau memuliakan perempuan. Dan itu selalu dikaitkan dengan seksualitas perempuan: alat kelaminnya, tubuhnya, payudaranya, keperawanannya, itu semua dianggap kehormatan perempuan, bahkan kehormatan masyarakat. Dibuat sedemikian rupa sehingga perempuan terpenjara oleh ide-ide tentang kemuliaan.
DW: Apakah seks memang problem paling mendasar yang menciptakan ketidakadilan gender?
Ayu Utami: Ketidakfahaman atau penyederhanaan berlebihan masyarakat patriarki dalam soal seksualitas itulah yang menciptakan ketidakadilan gender. Tulisan saya mengajak orang untuk melihat bahwa seksualitas tidak bisa disederhanakan begitu saja, karena itu novel-novel saya menampilkan karakter-karakter yang punya preferensi seksual berbeda-beda. Bukan hanya orientasi seks tapi cara mereka menikmati seks, juga berbeda. Jadi kita jangan menyederhanakan manusia: bahwa manusia hanya menikmati seks dengan satu cara saja. Lewat seks, kita akan belajar bahwa setiap individu manusia itu berbeda. Kedua, banyak mitos mengenai seksualitas yang dibangun dengan menegakkan dominasi laki-laki.
Hal inilah yang berusaha di kritik Ayu Utami melalui novelnya. Bagaimana dalam kehidupan nyata laki-laki dan peremupuan di bedakan karna gender. Perempuan selalu dianggap makhluk lemah dan harus selalu mengikuti apa yang di perintahkan laki-laki, dengan kata lain laki-laki selalu berada di atas perempuan. Perempuan tak berhak melawan atas apa yang di perintahkan laki-laki.  Dan perempian harus menjaga keperawanannya, jika wanita yang belum menikah sudah tidak perawan lagi mereka di anggap sebagai barang rusak atau cacat dan di anggap rendah oleh masyarakat. Sementara laki-laki tidak pernah di tuntut atau dipertanyakan apakah mereka masih perjaka atau tidak.
“…ibuku membuka suatu rahasia besar: bahwa aku ini ternyata sebuah porselin Cina. Patung, piring, cangkir porselin  boleh berwarna biru, hijau muda, maupun coklat. Tapi mereka tidak boleh retak, sebab orang – orang akan membuanya ke tempat sampah, atau melekatkannya sebagai perhiasan kuburan. Ibuku berkata aku tidak akan retak selama aku memelihara keperawananku.” ( halaman 124 )
“…dia menciptakan selaput dara, tetapi tidak membikin selaput penis.” ( halaman 149)
            Tak hanya dalam masalah perbedaan  hak antar gender, Ayu Utami juga mengkritik tentang politik, dan bagaimana pemerintah  menjalankan tugas atau kerja mereka. di dalam novel “saman” kita lihat bahwa tokoh Wisanggeni  (Saman) dan para penduduk kampung Lubukrantau dilema oleh pemerintah untuk mengganti tanaman karet mereka dengan tanaman kelapa sawit.Upaya yang dilakukan oleh Wisanggeni untuk membantu warga keluar dari keterpurukan malah diartikan sebagai suatu tindakan berbau komunis oleh petugas. Wis juga disiksasampai ia mengaku suatu hal yang tak ia lakukan. Hal ini ada di buktikan pada kutipan novel saman, yang berisi :
“Kamu pasti mau membangun basis kekuatan di kalangan petani! kamu mau menggulingkan pemerintah yang sah! Dan mereka terus menganiaya dia agar mengaku, meskipun pengakuannya sudah habis. Jepitan pada tangan dan kakinya kadang – kadang membuat Wis sendiri kehilangan keyakinan bahwa ia memang membangun kebun itu demi Upi.” ( Halaman 193)
            Dalam novel ini Ayu Utami juga mengkritik tentang agama, tentang ia yang dulu ketika beumur 20-an tidak mempercayai adanya tuhan. Keyakinan Ayu Utami inijuga terdapat dalam novel “saman” yaitu:
“Ia merasa telah mati. Dan ia merasa amat sedih karena tuhan rupanya tidak ada.” ( Halaman 102)
“Aku memang bimbang tentang tuhan.” ( Halaman 190)

Comments